"Her": Hati yang Terjebak "Cinta Tanpa Nalar"




Seorang penulis surat cinta jatuh hati pada mesin komputer. (www.herthemovie.com)




Seorang penulis surat cinta jatuh hati pada mesin komputer. (www.herthemovie.com)



VIVAlife - Theodore Twombly (Joaquin Phoenix), seorang pujangga perangkai kata. Karakter melankolisnya begitu kuat. Soal kata-kata romantis, ia jagonya. Keahliannya menulis pesan cinta.


Theodore menjadi solusi bagi mereka yang kesulitan mencurahkan isi hati. Orang-orang menyebut pekerjaannya: penulis surat cinta.


Namun di balik berjuta kata romantis yang ditulisnya, remah memori Theodore masih berkutat pada masa lalu. Perceraian dengan istri sekaligus teman masa kecilnya, Catherine (Rooney Mara), masih membekas.


Kebimbangan membawanya pada pagutan sepi yang berlarut-larut. Apalagi, Theodore terbilang introvert. Meski sukses secara finansial, ia tak punya sahabat tempat mencurahkan isi hati.


Kawan terdekatnya, Amy (Amy Adams) bahkan tak mampu mengobati kesepian Theodore. Lelaki itu tak mengacuhkan undangan demi undangan yang ditawarkan Amy untuk menghabiskan waktu bersama.


Mendadak, kehidupan Theodore berubah 180 derajat saat ia membeli sistem operasi cerdas yang bisa berkomunikasi dengan manusia. Kini hidupnya berpusat pada sistem itu.


Dengan suara beridentitas Samantha (Scarlett Johansson), ia tak hanya dibantu menulis atau membaca pesan-pesan elektroniknya. Jauh lebih dalam, Samantha menggiringnya ke pembicaraan tentang cinta, kehidupan, bahkan seks.


Theodore pun merasakan kehadiran sosok yang sempurna: cerdas, penuh perhatian dan pengertian. Ia mulai jatuh cinta pada sistem operasi tanpa wujud fisik itu.


Theodore dan Samantha lalu berpacaran secara virtual. Sepanjang hari mereka bercengkerama melalui ponsel. Semakin hari, rasa sayangnya menguat. Sampai-sampai Theodore termotivasi mengakhiri proses perceraian dengan sang istri yang selama ini tak juga ia tanda tangani.


Mulanya, “hubungan” dengan Samantha berjalan mulus. Namun Theodore yang tak bisa lepas dari karakter perasa, mulai mempertanyakan kejelasan statusnya.


Ia memang bisa terus berbincang dengannya. Tapi wanita itu tak bisa disentuh, didekap, bahkan tak bisa menjadi pelampiasan ekspresi cinta. Apalagi ia kemudian tahu, empat rekan kerjanya menjalin cinta dengan sistem serupa. Theodore pun patah hati.


Cinta memang sering tak masuk akal. Tapi apakah Theodore melakukan suatu kesalahan saat mencintai wanita yang tak pernah ada? Lantas, bagaimana kelanjutan cintanya dengan Samantha?


Tema unik


Spike Jonze, sutradara film ini, bukanlah pendatang baru tanpa ciri khas. Kemampuannya begitu mumpuni dalam meracik film futuristik dipadu tema cinta, seperti yang dilakukannya pada Being John Malkovich (1999).


Melalui Her, Jonze menawarkan resep baru untuk teknologi masa depan. Ketika kegiatan sehari-hari dipermudah lewat sistem operasi.


Namun keahlian Jonze tak semata soal teknologi. Ia juga matang menggarap tokoh dengan intensitas lebih soal psikologis. Theodore, digambarkannya dengan sempurna sebagai seorang yang kesepian sekaligus introvert.


Perasaannya yang melankolis, terasa kuat di seluruh adegan film. Bagaimana ia galau soal perceraian dengan istrinya, sampai akhirnya menemukan cinta baru, dan kembali dibuat gelisah.


Salah satu obat pengusir sepi memang adanya kehadiran orang baru dengan perhatian yang bertubi-tubi. Samantha berhasil membuat Theodore pindah dari hati yang lama.


Ini tidak klise, dan Jonze berhasil mewujudkannya. Ia bahkan bisa menggambarkan pahitnya ketika logika mampu dibunuh oleh rasa kesepian itu sendiri.


Pesan cinta


Secara visual, Her bisa dibilang karya yang menakjubkan. Lirisnya kehidupan Theodore, dilatari dengan sempurna lewat pemandangan kontemporer Shanghai dan Los Angeles.


Dua jam durasi film membawa penonton pada dinamika perasaan aktor utama: kecewa, berbunga-bunga, dan kembali kecewa. Proses yang agak panjang, apalagi saat menggeser fokus cinta Theodore dari Catherine menuju Samantha.


Atmosfer mendayu-dayu mendominasi sepanjang film. Itu yang mungkin agak membosankan. Tapi di satu sisi, itu juga bisa menjadi kekuatan untuk mematangkan karakter utamanya.


Meski terkesan lambat, film ini cukup dinamis. Dialognya sesak, dan banyak kalimat renyah serta mendalam tentang cinta. Merangkap sutradara sekaligus sebagai penulis cerita, Jonze seakan mencoba menenggelamkan siapapun ke dalam karyanya.


Salah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari Her, adalah betapa tak ada pasangan yang sempurna. Bahkan dunia virtual dengan segenap teknologi mutakhir pun tak dapat mewujudkannya.


Film ini akan segera tayang di bioskop-bioskop Indonesia. (eh)