"RoboCop": Pergolakan Manusia dalam Tubuh Robot




RoboCop segera hadir kembali, bulan ini. (Facebook)




RoboCop segera hadir kembali, bulan ini. (Facebook)



VIVAlife - Detroit, 2028. Zaman semakin canggih. Amerika sudah tak lagi mengandalkan prajurit untuk menumpas kejahatan. Dalam perang sekalipun, yang diturunkan adalah robot-robot pintar.


Mereka bisa mengenali potensi bahaya, menarik pelatuk hanya untuk sasaran yang tepat. Asal tak bersenjata, manusia akan aman. Omnicorp, perusahaan pembuat robot, sudah memprogramnya.


Bahkan mereka bisa mengucap: “Assalamualaikum, kiranya damai bersama Anda. Mohon keluar dengan tangan terangkat untuk prosedur pemindaian rutin,” untuk para muslim di Tehran.


Sekilas, itu solusi paling aman untuk seluruh umat manusia di dunia. Namun, senat menolak robot. Alasannya, mereka tak punya belas kasih dan hati nurani. Melihat bocah yang sekadar memegang pisau, mereka bisa mendeteksinya sebagai ancaman bahaya.


Detroit masih butuh sisi humanisme. Yang punya perasaan, emosi, dan pikiran untuk mengontrol dirinya sendiri.


Karena itulah Raymond Sellars (Michael Keaton), pemilik Omnicorp, tak bisa mengalahkan Senator Hubert Dreyfuss (Zach Grenier) untuk mencabut undang-undangnya soal perobotan.


Alhasil, Detroit masih menghadapi permasalahan yang sama: kriminalitas yang tak pernah surut. Polisi korup. Narkoba dan senjata ilegal merajalela. Opsir Alex Murphy (Joel Kinnaman), hidup di era itu.


Murphy polisi anti-suap, namun justru itulah yang membuatnya celaka. Karena kegetolannya menangkap otak perdagangan narkotik, Antoine Vallon (Patrick Garrow), Murphy terluka.


Hidupnya kritis, nyawanya nyaris tak selamat. Dari seluruh tubuh, yang tersisa tinggal wajah, sebagian otak, paru-paru, jantung, dan telapak tangan kanannya saja.


Omnicorp melihat itu sebagai kesempatan. Atas persetujuan sang istri, Murphy diberi “kehidupan kedua”. Di bawah Dr Dennett Norton (Gary Oldman), Murphy dimasukkan dalam tubuh robot.


Jadilah ia RoboCop.


Sayang, Omnicorp tak puas sampai di situ. Mereka melihat RoboCop lebih lemah dibanding robot lainnya, karena masih punya rasa takut dan emosi, juga perasaan. Robot yang seperti itu tak laku dijual.


Semakin lama, keberadaan Murphy dalam RoboCop makin ditekan. Hingga ia berada di titik nol kesadarannya. Robot mengambil alih jiwanya. Gerakannya memang lebih cepat dan taktis.


Penjahat demi penjahat ditangkap. Angka kriminalitas menurun drastis. Ia dielu-elukan media. Namun, Murphy jadi tak mengenali sahabatnya, tak memedulikan istrinya, bahkan putranya sendiri.


Pergulatan yang selanjutnya terjadi bukan lagi antara Murphy dan Vallon, melainkan dengan dirinya sendiri. Juga dengan Omnicorp, perusahaan yang membuatnya kehilangan sisi manusia.


Siapa yang akhirnya bisa memegang kendali, manusia atau robot?


RoboCop merupakan remake dari film sebelumnya. Film garapan sutradara José Padilha ini masih mengadopsi cerita soal Alex Murphy dan keluarganya, sama seperti RoboCop tahun 1987.


Tak istimewa


Namun, selain teknologi yang semakin canggih, nyaris tak ada yang istimewa dalam film ini. RoboCop memang diwujudkan berbeda. Lebih keren dengan warna hitam dan tunggangannya yang jantan.


Sayangnya, cerita kali ini tak sekuat sebelumnya. Ekspresi dan gestur Kinnaman kurang menyiratkan pergolakan batin dalam diri RoboCop.


Caranya menghadapi keluarga, tidak diekspos secara intens. Ia tak terlihat begitu menyayangi mereka, sehingga penonton pun tak bisa hanyut dalam adukan perasaan yang dalam saat kemanusiaan Murphy dicerabut dan mereka terlupakan.


Emosi Kinnaman juga tak terbaca, meski ia harus bertarung melawan pengaruh robot dalam dirinya. Ia terlalu datar. Padahal, pergolakan batinnya seharusnya begitu kompleks.


Justru yang terlihat menonjol adalah akting Oldman. Sebagai Dr Norton, ia berhasil memainkan peran dengan sangat baik. Tatapan dan gerak tubuhnya bisa mengisyaratkan kegelisahan dan pertentangan batin luar biasa saat diminta Omnicorp melepas kemanusiaan Murphy.


Hal lain yang patut dicermati, perhatian sutradara terhadap detail. Di tengah era super canggih sehingga Omnicorp mampu menghasilkan robot-robot pintar, masalah yang dihadapi Detroit masih itu-itu saja.


Kriminal klasik itu bahkan tak dilengkapi senjata atau taktik yang lebih canggih, seperti seharusnya Amerika pada 2028. Seakan kecanggihan teknologi hanya dimiliki satu sisi: Omnicorp. Ketimpangan ini sangat terasa di seluruh film.


Selain itu, perbandingan waktu mengupas film tak sebanding. Film seakan dibuat menjadi potongan-potongan singkat saat mengisahkan Murphy sebelum menjadi RoboCop.


Mungkin itu sebabnya penonton tak bisa menyelami sisi manusia Murphy seperti yang seharusnya. Film ini kurang "digiring" dengan penuh sentuhan emosi.


Penjelasan itu sepertinya menjawab, mengapa RoboCop hanya mendapat rating 50 persen di Rotten Tomatoes. Dari 30 ulasan pengamat film asing, hanya sebagian yang menganggap RoboCop istimewa.


Meski begitu, remake RoboCop tetap patut dipuji karena berhasil menghadirkan kembali kisah Murphy. Itu seperti mengulik sesuatu dalam memori kanak-kanak yang kerinduan sosok pahlawan. Film ini seakan mengisi kerinduan para penggemar RoboCop pada 1987.


Namun, sebaiknya tidak membandingkan dua generasi film yang berbeda. Katakanlah RoboCop pada 1987 unggul dari segi cerita dan pergolakan emosi. Kini, RoboCop laik diacungi jempol karena kecanggihan teknologi dan kemasannya yang lebih segar.


Jumat lalu, film ini sudah hadir di Indonesia. Semalam, ia diputar midnight di beberapa bioskop tertentu. Dalam waktu dekat, RoboCop akan hadir secara massal di layar lebar negeri ini. (art)